Sebelum menjabarkan dakwah sebagai aktivitas masyarakat Islam, aku ingin
mendefinisikan terlebih dahulu apa itu dakwah dan rekaya dalam kalimat dakwah
sebagai aktivitas rekayasa masyarakat Islam karena kata itulah yang
nanti akan menjadi pokok pembahasan dalam materi Dakwah sebagai aktifitas
rekayasa masyarakat Islam.
Definisi Dakwah
Kata dakwah berasal dari bahasa Arab
dengan asal kata (ﺩﻋا-ﻴﺩﻋﻮ)
yang dalam bentuk mashdarnya ﺩﻋﻮﺓ mempunyai arti ajakan, seruan, panggilan, atau
undangan.
Sedangkan menurut Istilah, dakwah ialah segala usaha dan kegiatan yang sengaja
berencana dalam bentuk sikap, ucapan dan perbuatan yang mengandung ajakan dan
seruan baik langsung atau tidak langsung, ditujukan kepada orang perorangan,
masyarakat atau kelompok masyarakat agar tergugah jiwanya, terketuk hatinya
ketika mendengarkan perintah dan peringatan ajaran Islam yang kemudian
menghayati, menelaah dan mempelajari untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
H.M. Arifin memberikan definisi bahwa:
“Dakwah adalah sesuatu kegiatan ajakan baik dalam bentuk
lisan, tulisan, tingkah laku dan sebagainya yang dilakukan secara sadar dan
berencana dalam usaha mampengaruhi orang lain baik secara individu maupun secara
kelompok, agar supaya timbul dalam dirinya suatu pengertian, kesadaran, sikap
penghayatan serta pengalaman terhadap ajaran agama sebagai massage yang disampaikan kepadanya dengan tanpa adanya unsur-unsur
paksaan.[2]
Sedangkan Menurut Syeh Ali Mahfudz
dalam Hidayat Al-Mursyidin, sebagaimana yang dikutip oleh Malik Idris bahwa
dakwah adalah:
ﺤﺙاﻠﻨﺎﺲﻋﻟﻰاﻟﺧﻴﺮﻮاﻟﻬﺩﻱﻮاﻷﻤﺮﺒﺎﻟﻤﻌﺮﻮﻒﻮاﻟﻨﻬﻲﻋﻦﺍﻠﻤﻨﻜﺮﻠﻴﻔﻮﺰﻮﺍﺑﺳﻌﺎﺪﺓاﻟﻌﺎﺠﻞﻮاﻷﺠﻞ[3][3]
“Mendorong manusia untuk berbuat kebajikan dan petunjuk,
meyuruh mereka untuk berbuat kebaikan dan mencegah mereka dari berbuat mungkar
agar mendapat kebahagiaan dunia dan kebahagiaan akhirat”.[4]
Imam Al-Gazali dalam bukunya Ma’Allah
memberikan definisi bahwa dakwah adalah program pelengkap yang meliputi semua
pengetahuan yang dibutuhkan manusia untuk memberi penjelasan tentang tujuan
hidup serta mampu membedakan mana yang haq dan mana yang bathil.[5] Sedangkan dakwah
menurut pandangan Wahdah Islamiyah adalah mengajak manusia untuk berislam
dengan baik dengan pendekatan persuasif, pengenalan dan pengetahuan yang
menyeluruh.
Isyarat-isyarat yang dimaksudkan dalam
definisi dakwah mengarah pada keseriusan menjalankan tugas suci, dimana
kegiatan yang dilakukan harus sistematis, karena segala pekerjaan dalam
aktivitas dakwah selalu dilihat dari siapa pelakunya, sehingga aktivitas dakwah
itu benar-benar muncul dari sebuah pemahaman.[6] Oleh karenanya,
dakwah merupakan kegiatan mengajak manusia kejalan yang telah di gariskan oleh
Allah baik secara perorangan maupun secara kolektif, dengan penuh kesadaran
yang di rencanakan secara sistematis demi mencapai tujuan hidup manusia yang
lebih baik, dunia dan akhirat.
Definisi Rekayasa
Kata rekayasa dalam bahasa inggris berarti engineering yang juga dapat
diartikan sebagai teknik adalah penerapan ilmu dan teknologi untuk
menyelesaikan permasalahan manusia. Hal ini dapat diselesaikan melalui
pengetahuan, matematika dan pengalaman praktis yang diterapkan untuk mendesain
objek atau proses yang berguna. Dalam kamus besar bahasa Indonesia sendiri
rekayasa adalah penerapan kaidah-kaidah ilmu dalam pelaksanaan (seperti
perancangan, pembuatan konstruksi, serta pengoperasian kerangka, peralatan dan
sistem yang ekonimis dan efisien).
Dari pengertian tersebut penulis mengartikan dakwah sebagai aktivitas
rekayasa masyarakat Islam adalah dakwah sebagai sarana atau aktivitas untuk membentuk
karakter umat Islam yang mana materi dakwah tersebut disampaikan oleh da’i
kepada mad’u supaya menjadi lebih baik yang sesuai dengan Al-Qur’an &
Hadits. Untuk membentuk karakter manusia yang sesuai dengan Al-Qur’an &
Hadits tentunya tidaklah semudah membalikan tangan karena sifat & karakter
manusia tidaklah sama & dalam menyampaikan dakwah juga tentunya tidak semua
umat Islam menerima dengan mudah terkadang juga terjadi penolakan, penolakan dari
umat Islam pun berbeda-beda ada yang secara halus dan secara tegas bahwa ia
tidak ingin menerima apa yang disampaikan oleh da’i. Untuk itu seorang da’i
harus bisa menghadapi permasalahan tersebut & seorang da’i juga harus
mengetahui terlebih dahulu subjek, objek & tujuan dakwah serta tantangan
& peluang dakwah itu sendiri supaya persiapan da’i bisa lebih matang.
Dibawah ini aku akan mencoba menjelaskan apa yang sekiranya dibutuhkan oleh
da’i untuk menyampaikan dakwahnya supaya bisa diterima dengan baik oleh umat
Islam.
A. Subjek, Objek
dan Tujuan Dakwah
1.
Subjek Dakwah
Subjek dakwah adalah pelaksana dakwah
yang beragama Islam, baik laki-laki maupun perempuan bagi mereka yang memiliki
kemampuan untuk mengajak dan memberikan materi dakwah kepada orang lain. Kewajiban
ini seperti yang telah di gariskan oleh Allah SWT. dalam QS. Ali-Imran (3):
110:
öNçGZä.
uöyz
>p¨Bé&
ôMy_Ì÷zé&
Ĩ$¨Y=Ï9
tbrâßDù's?
Å$rã÷èyJø9$$Î/
cöqyg÷Ys?ur
Ç`tã
Ìx6ZßJø9$#
tbqãZÏB÷sè?ur
«!$$Î/
3
öqs9ur
ÆtB#uä
ã@÷dr&
É=»tGÅ6ø9$#
tb%s3s9
#Zöyz
Nßg©9
4
ã.cqãYÏB÷sßJø9$#Nßg÷ZÏiB
ãNèdçsYò2r&ur
tbqà)Å¡»xÿø9$#
Terjemahnya:
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada
Allah. sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di
antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang
fasik”.[7][7]
Subjek dakwah seperti yang diisyaratkan
dalam surat Ali Imran di atas paling tidak memiliki; sikap simpatik dan berperilaku
keteladanan serta memiliki kepribadian yang mengesankan.
Hamzah Yakub dalam bukunya Publistik Islam, Teknik Dakwah dan
Lidership; menjelaskan bahwa seorang subjek dakwah paling tidak memiliki:
“(1) Pemahaman Al-Qur’an dan Sunnah Rasul sebagai pedoman
dakwah; (2) Memiliki pengetahuan tentang pendidikan ajaran Islam, (Tafsir,
Hadits dan Sejarah Kebudayaan Islam); (3) Memiliki pengetahuan yang menjadi
alat kelengkapan dakwah (metode, psikologi, antropologi, sosiologi); (4)
Memahami bahasa objek dakwah (disamping retorika dan kemampuan menjelaskan
materi), (5) Penyantun dan lapangdada; (6) Berani kepada siapapun dalam
menyatakan dan mempertahankan kebenaran; (7) Memberi contoh dalam setiap
kebajikan sehingga dapat singkron antara perkataan dan perbuatan; (8) Berakhlak
mulia (tidak sombong, jujur, tawađđu, rendah hati, murah senyum); (9) Memiliki
ketahanan mental yang kuat disamping optimis keberhasilan yang akan tercapai;
(10) Berdakwah karena Allah tanpa mengharapkan imbalan dan upah sedikitpun,
(11) Mencintai tugas kewajiban dan tidak gampang meninggalkan tugas sebagai
penyeruh dakwah.”[8][8]
Oleh karenanya seorang pelaku dakwah
(da’i ) yang menjadi simbol moral harus memiliki kompetensi seperti di atas agar memudahkan kemulusan dan
efektifitas komunikasi dakwah.
2.
Objek Dakwah
Objek dakwah adalah setiap orang yang
dapat dijadikan sasaran pesan dakwah. Dakwah tidak hanya dilakukan pada
masyarakat awam, namun kegiatan dakwah disampaikan kepada seluruh manusia dan
umat Islam pada khususnya yang diawali dari diri sendiri (‘ibda’ū bi nafsiy) sebagai langkah awal selanjutnya keluarga dan
siapa saja yang menjadi sasaran komunikasi dapat dikatakan sebagai objek dakwah
dengan kapasitas dan tipologi yang berbeda-beda.
Imam Al-Gazali membagi umat manusia
yang menjadi objek dakwah ke dalam 3 golongan: (1) Kaum awam, dengan daya
akalnya yang sederhana memiliki cara berfikir yang sederhana sekali, sehingga
mereka memiliki cara berfikir yang sederhana pula. Mereka memiliki sifat yang
lekas percaya dan penurut, sehingga golongan ini harus dihadapi dengan sikap
memberi nasehat dan petunjuk (al-maw
‘izah); (2) Kaum pilihan (Ial-khawwas),
yakni kaum yang memiliki daya akal yang kuat dan mendalam. Kemampuan nalar
dan keilmuan mereka cukup memadai bahkan sudah mengerti ajaran Islam, sehingga
mereka harus didekati dengan sikap menjelaskan hikmah-hikmah, dan (3) Kaum yang
suka melawan dan bahkan menjadi musuh dan penengkar (ahl al-jadal), sehingga pendekatan yang digunakan pada golongan ini
adalah dengan cara Al-Mujādalah.[9][9]
Secara singkat, yang menjadi objek
(sasaran) dakwah adalah seluruh manusia yang memiliki akal sehat serta berada
dalam kehidupan bermasyarakat dengan tipologi dan strata yang berbeda-beda,
sehingga metode pendekatan di sesuaikan dengan kadar objek dan tujuan dakwah.
3.
Tujuan Dakwah
Kegiatan manusia yang berhasil adalah
kegiatan yang mempunyai planning (perencanan)
yang matang dan kegiatan yang mempunyai tujuan, dengan cara dan metode
tersendiri dalam pencapaiannya.
Dakwah adalah merupakan salah satu
bentuk kegiatan manusia, harus direncanakan sebelumya serta menentukan sasaran
dan tujuan yang ingin dicapai, sehingga kegiatan yang dilakukan dapat
terorganisir dengan baik dan mencapai sasaran. Seluruh rangkaian dan acuan yang
telah diorganisir secara baik dalam pelaksanaan dakwah tersebut haruslah
dipenuhi demi mendapatkan hasil yang maksimum dan memuaskan. Di antara unsur
yang terpenting dalam dakwah adalah menentukan tujuan sasaran dakwah.
Tujuan dakwah terbagi dalam dua bagian
yaitu:
a) Tujuan
dakwah secara umum (major objective)
yaitu sesuatu yang hendak dicapai dalam suatu aktivitas dakwah. Tujuan umum
dakwah sebagaimana yang telah disinggung pada definisi dakwah di atas yaitu:
“Mangajak umat manusia (meliputi orang mukmin maupun
orang kafir atau musyrik) kepada jalan yang benar dan di ridhoi Allah SWT.,
sehingga dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan kehidupan di akhirat.”[10][11]
b) Tujuan
dakwah secara khusus (minor objective)
yaitu perumusan tujuan sebagai perincian dari pada tujuan umum dakwah yakni
sebagai berikut:
(1) Mangajak umat manusia
yang sudah memeluk Islam untuk selalu meningkatkan ketaqwaannya kepada Allah
SWT.,
(2) Membina mental agama
Islam bagi kaum yang masih muallaf dan
(3) Mendidik dan
mengajarkan kepada anak-anak agar tidak menyimpang dari fitrahnya.[11][12]
Dari penjabaran di atas, dapat dipahami
bahwa tujuan dakwah adalah mengajak umat manusia baik yang muslim maupun yang
non muslim (manusia secara kaffah)
kejalan benar yang di ridhoi Allah SWT.
dalam mengarungi kehidupannya, dalam arti menyelamatkan manusia dari
kesesatan, kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan sehingga tujuan dakwah
diarahkan pada usaha mempertemukan fitrah
manusia dengan Islam atau mengingatkan manusia untuk berbuat baik. Oleh karena
itu untuk mencapai tujuan dakwah tersebut, pelaku dakwah harus memiliki
strategi dan penguasaan dalam menggunakan media.
Ada beberapa metode dakwah yang biasa
digunakan oleh para pelaku dakwah:
1. Metode Dakwah Qur’ani
Dalam kegiatan dakwah, seorang subjek
dakwah harus mampu mencari metode yang sesuai untuk digunakan, sehingga tujuan
dakwah dapat tercapai.
Metode umum dari dakwah qur’ani adalah
memahami dan menguasai tafsir secara etimologi,
sehingga dengan metode kajian pelaku dakwah dapat mengetahui keistimewaan dari
ayat-ayat Al-Qur’an yang menjadi pedoman dakwah,[12][16] seperti yang digambarkan dalam Q.S. Al-Nahl (16) : 125:
äí÷$#
4n<Î)
È@9Î6y
y7În/u
ÏpyJõ3Ïtø:$$Î/
ÏpsàÏãöqyJø9$#ur
ÏpuZ|¡ptø:$#
(
Oßgø9Ï0»y_ur
ÓÉL©9$$Î/
}Ïd
ß`|¡ômr&
4
¨bÎ)
y7/u
uqèd
ÞOn=ôãr&
`yJÎ/
¨@|Ê
`tã
¾Ï&Î#9Î6y
(
uqèdur
ÞOn=ôãr&
tûïÏ0tGôgßJø9$$Î/
Terjemahnya:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya
Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan
Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”[13][17]
Pada ayat di atas, terdapat tiga thariq (metode) dakwah yang secara tegas
yang diberikan oleh Allah SWT. kepada Nabi Muhammad SAW. dan pelaku dakwah lainnya, yaitu: bi al-hikmah, maw‘izah al hasanah dan
mujādalah.[14][19]
1. Bi al-hikmah
Dakwah bi al-hikmah adalah pendapat
atau uraian yang benar dan memuat alasan-alasan atau dalil-dalil yang dapat
menampakan kebenaran dan menghilangkan keraguan. Konseptualisasi hikmah merupakan perpaduan antara ilmu dan amal
yang melahirkan pola kebijakan dalam menyikapi orang lain dengan menghilangkan
segala bentuk yang mengganggu.
Pemaknaan kata hikmah menurut M. Husain adalah meletakkan kebenaran suatu perkara
sesuai pada tempatnya. Sedang sifat al-hikmah
itu hadir dari keterpaduan Al-Kibrah (Pengetahuan),
Al-Mirā’ (Latihan) dan At-Tajribāh (Pengalaman). Jika ketiganya
bersemayam dalam diri maka akan terbentuk jiwa yang bijaksana.[15][19]
Menurut Ibnu Rusyd, dakwah bil hikmah
adalah dakwah dengan pendekatan substansi yang mengarah pada falsafah
dengan nasehat yang baik, retorika yang efektif dan populer.[16][20]
Dari pendapat di atas dapat ditarik
kesimpulan bahwa dakwah dengan hikmah pada intinya merupakan penyeruan atau
pengajakan dengan cara bijak, filosofis, argumentatif, adil, penuh kesabaran
dan ketabahan. Hal ini dimaksudkan agar pelaku dakwah memperhatikan situasi
dengan menggunakan pola relevan dan realistis sesuai tantangan dan
kebutuhan.
2. Maw’izah al-hasanah
Dakwah maw’izah al-hasanah adalah metode dialog-dialog/pidato yang
digunakan oleh komunikator, dimana objek dakwah dapat memahami dan menganggap
bahwa pesan yang disampaikan adalah sesuatu yang bermanfaat dalam kehidupannya.
Konsep maw’izat sering diartikan
sebagai tutur-kata yang baik dan nasihat yang baik, sehingga dakwah yang
ditempuh dengan menggunakan metode maw’izat
al-hasanah orientasinya lebih pada menjawab kebutuhan objek dakwah yang
mendesak. Dengan demikian dakwah al-maw’izat
al-hasanah jauh dari sikap egois, agitasi emosional dan atau apologi. Cara
dakwah ini lebih spesifik ditujukan kepada kelompok mad’u yang kurang mampu menganalisa maksud materi.
3. Mujādalah
Dakwah mujādalah adalah cara berdiskusi dan berdebat dengan lemah lembut
dan halus serta menggunakan berbagai upaya yang mudah, sehingga dapat
membendung hal-hal yang negatif dari objek dakwah. Konsep tersebut merupakan
kerangka upaya kreatif dan adaptif dari pelaku dakwah dalam
menjalankan misi dakwahnya. Antara moral etik keagamaan dan etik sosial-historis yang berjalan
ditengah-tengah masyarakat dalam arti bingkai keagamaan tidak dapat begitu saja
terlepas dari doktrin tradisi dan kebiasaan masyarakat dalam pola
pelaksanaannya.
Metode inilah yang di isyaratkan
oleh Allah dalam QS. Al-Nahl ayat 125, akan tantangan zaman yang kelak dihadapi
oleh para pelaku dakwah, dimana bukan hanya dengan orang kafir atau orang yang
tidak mau mendengarkan seruan ajaran Islam sebagai bentuk ketidak pahaman dan reaksioner dari mad’u, namun tantangan ini terkadang datang dari sesama pelaku
dakwah, sehingga Al-Qur’an mengajak kepada umat manusia terutama pelaku dakwah
untuk selalu berdiskusi dengan baik dalam memecahkan masalah.
Adalah hal yang wajar jika manusia menginginkan kemenangan
dalam pertunjukan demi mempertahankan kebesaran dan kehormatan, lebih lagi
ketika sampai pada kebenaran. Terkadang metode tersebut dalam Al-Qur’an diisyaratkan
sebagai perintah berjihad demi agama Allah, karena misi dakwah bukan karena
beban namun merupakan kewajiban yang harus terwujudkan.[17][21]
Dalam metode ini ada watak dan suasan yang khas, yakni
bersifat terbuka dan transparan, konfrontatif
dan reaksionis, namun pelaku dakwah
harus tetap berpegang teguh pada karakteristik dakwah itu sendiri. Berdebat dan
berdiskusi, bukan ngotot-ngototan mempertahankan kesalahan karena menjaga
reputasi dan integritas namun berdebat mencari solusi terbaik.
- Metode Dakwah Rasulullah
Ada beberapa fase yang dilalui oleh Rasulullah dalam
menjalankan risalahnya. Dilihat dari langkah-langkah dan sudut pandang
pengembangan dan pembangunan masyarakat, terdapat tiga posisi penting
fungsi/peran Rasulullah SAW.: Pertama beliau
sebagai peneliti masyarakat. Posisi dan peran tersebut dilakukan ketika menjadi
seorang pedagang sehingga beliau dapat mengetahui karakter masyarakat dari
berbagai bangsa-bangsa. Kedua, Rasul
sebagai pendidik umat (social educator).
Adapun sistem pembinaan dan pendidikan rasul adalah sistem kaderisasi, dimana
pendidikan yang dilakukan adalah pembinaan mental sahabat dan keluarganya
dengan penanaman aqidah yang benar. Ketiga, Rasulullah sebagai negarawan dan
pembangun masyarakat, hal ini tercermin dengan keberhasilan Rasul membangun
Madinah. Pada masa awal perkembangan Islam, masyarakat Islam menampilkan diri
sebagai masyarakat alternatif, karakter paling terpenting yang ditampilkan oleh
umat Islam saat itu adalah kedamaian dan kasih sayang.
Dari uraian di atas, secara singkat dapat disimpulkan
beberapa prinsip dan metode yang dilakukan oleh Rasul: Pertama, Mengetahui medan (mad’u)
melalui penelitian dan analisis. Kedua, melalui
perencanaan pembinaan, pendidikan, pembangunan dan pengembangan masyarakat. Ketiga bertahap, diawali dengan cara
diam-diam (marhalah sirriyah)
kemudian cara terbuka (marhalah alaniyah)
diawali dari shahabat, keluarga dan teman dekat kemudian masyarakat secara
umum. Keempat melalui cara dan
strategi hijrah, yakni menghindarkan situasi yang negatif meraih suasana yang
positif. Kelima, melalui syariat
ajaran dan pranata Islam. Keenam, melakukan
kerjasama dengan komponen yang dapat mendukung dan membantu mensukseskan
kegiatan dakwah. Ketujuh, melalui
cara akomodatif, toleran dan saling
menghargai. Kedelapan, menjunjung
nilai-nilai kemanusiaan, kebebasan dan demokrasi. Kesembilan, melalui pendekatan misi, maksudnya adalah mengirim
personil untuk menyampaikan risalah. Kesepuluh
adalah menggunakan bahasa
kaumnya, sesuai kemampuan pemikiran masyarakatnya (‘ala qadri uqulihim) dan kesebelas
adalah kolaborasi petunjuk Surat Al-Nahl ayat 125 seperti yang dijelaskan
di atas.
Tantangan dan Peluang Dakwah
1.
Tantangan Dakwah
Kehidupan manusia di dunia ini tidak luput dari rintangan
yang bersifat internal (dari dalam) maupun yang bersifat eksternal (dari luar).
Begitulah kondisi aktivitas dakwah yang terjadi di tubuh umat Islam dan para
pelaku dakwah dewasa ini.
Tantangan dakwah dewasa ini dapat
dilihat dari berbagi perspektif:
a)
Perspektif perilaku (Behavioristic
perspective)
Perilaku yang dimaksudkan di sini adalah segenap tingkahlaku
manusia yang diperoleh atau bergantung pada data eksperiment yang bermakna.
Tampaknya sikap dan perilaku (behavior) masyarakat
dewasa ini hampir dapat dipastikan bahwa lebih banyak dipengaruhi oleh keadaan
di sekitarnya. Gambaran budaya melalui terpaan media dengan berbagai sajian
menarik kepada masyarakat telah membawa imbas yang tidak saja bersifat positif,
tetapi dampak negatif merupakan sesuatu yang niscaya.
Berkaitan dengan tantangan dakwah, H. Anwar Arifin
menegaskan bahwa dalam masyarakat industri yang mendewakan sains dan teknologi,
dakwah menghadapi lawan yang tangguh, kecuali jika ilmu dan teknologi diberikan
muatan-muatan agama dengan bobot yang tinggi. Untuk memberikan muatan terhadap
sains dan teknologi, keduanya membutuhkan manusia cerdas, sehingga dengan
kekuatan penalaran dan iman manusia terutama pelaku dakwah dapat mengarahkan
teknologi kearah yang bernilai positif, inilah sesungguhnya kendala yang
dihadapi oleh juru dakwah saat ini, yakni dengan kurangnya penguasaan ilmu dan
teknologi modern yang ternyata itu adalah penunjang kelancaran interaksi di
mana objek dakwah sudah mulai menyeleksi kualifikasi da’i.
b)
Perspektif Transmisi (Transmissional
perspective)
Dakwah dapat dikatakan sebagai proses penyampaian atau
transmisi ajaran agama Islam dari seorang da’i kepada objek dakwah (mad’u) agar
bersikap dan bertingkahlaku sesuai dengan ajaran agama yang diterimanya.
Untuk dapat ditransmisikan (ajaran agama) kepada masyarakat
yang menjadi objek dakwah, peranan media sangat menentukan meskipun tetap tidak
menafikan faktor-faktor penunjang lainnya. Oleh karena itu seorang da’i
dituntut untuk lebih jitu menentukan media yang akan digunakan pada saat
melakukan dakwah dengan melewati tahapan-tahapan pelaksanaan dakwah.
Dalam kaitannya dengan transmisi ajaran agama kepada
masyarakat dewasa ini, nampaknya pelaku dakwah mendapat tantangan yang tangguh
dan kompleks. Tantang tersebut bukan saja pada minimnya pemilikan umat Islam
atas media komunikasi yang dapat dijadikan media untuk mentransformasikan
ajaran agama, akan tetapi kurangnya kemampuan pada pengelolaan dan pemanfaatan
media informatif.
Secara ideal, pelaku dakwah harus mengembangkan kecakapan
khas dalam menciptakan dan memanfaatkan teknologi informasi, kendati segala
jenis teknologi hadir dengan perangkat ideologi dan kultur dari peradaban yang
melahirkannya.
Dengan berbagai macam perubahan sosial mestinya agama
(dakwah) tampil untuk membantu manusia memahamkan kejadian baru yang sering
sukar dijangkau oleh akal manusia. Karena ketika kemajuan dramatis iptek tidak
lagi sepenuhnya sanggup menjawab masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi
yang ditimbulkannya, maka mau tidak mau orang akan mencari pemecahan melalui
pendekatan agama.
c)
Perspektif Interaksi (Interactional
persepective)
Tantangan dakwah yang berkaitan dengan iteraksi ini
memberikan signal bahwa manusia dalam kehidupannya tidak dapat saling memahami
jika tidak ada interaksi. Begitulah kondisi dakwah, manakala proses interaksi
tidak efektif maka proses dakwah akan gagal. Hubber Bonner dalam bukunya Social psychologi menyebut interaksi
sebagai suatu hubungan antara dua orang atau lebih dimana tingkah laku sesorang
diubah oleh tingkah laku yang lainnya. Karenanya pengaruh eksternal akan
menggerogoti power internal dengan metode tradisionalnya.
d)
Perspektif Transaksional (Transaksional
perspective)
Upaya untuk memberikan muatan agama/dakwah terhadap sains
dan teknologi, memerlukan manusia dengan kekuatan penalaran dan iman dengan
jumlah yang besar. Namun harus diakui bahwa di sinilah letak salah satu
kelemahan umat Islam khususnya umat Islam di Indonesia, yaitu rendahnya
penguasaan teknologi informatika. Sehingga kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang berkembang merupakan tantangan dan motivasi bagi umat Islam
khususnya para penyeruh dakwah.
2.
Peluang Dakwah
Peradaban informasi yang mendominasi dunia modern dalam
beberapa dekade terakhir ini, telah membawa dampak global dalam berbagai sektor
kehidupan manusia. Dampak positif dan negatif peradaban hampir semuanya dapat
dikaitkan dengan agama, terutama peluang sekaligus tantang dakwah. Segi positif
dari peradaban informasi ini merupakan peluang dakwah, bahkan oleh pihak
agamawan tidak terkecuali Islam telah dijadikan sebagai media pendukung dalam
mengembangkan ajaran agama.
Islam yang selama ini hanya mampu berjalan dengan ke
ikhlasannya untuk menjalankan misi dakwahnya, kini sudah dengan mudah
menyampaikan pesan dakwah keseluruh pelosok nusantara dengan kemajuan
teknologi. Tanpa disadari, pesan yang disampaikan melalui sinetron, memberi
pengaruh besar terhadap kesadaran umat untuk menjalankan ajaran agama, peluang
yang demikian haruslah dimanfaatkan oleh pelaku dakwah.
Dengan demikian, tantangan besar yang dihadapi oleh umat
Islam adalah penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi moderen. Karena dengan
teknologi moderen, banyak hal yang dapat dilakukan untuk membantu tercapainya
misi suci (dakwah). Banyak hal yang selama ini tampak samar bagi para ulama,
akhirnya menjadi terungkap maksud dan kandungannya berkat iptek.
Oleh karena itu, kesiapan pelaku dakwah dalam berbagai hal
seperti yang telah dijelaskan di atas untuk menjawab/mengantisipasi tantangan
adalah sebuah keharusan bagi para pelaku dakwah sehingga ketika terjadi
kemungkinan-kemungkinan yang tidak diprediksi sebelumnya dapat diatasi, bahkan
dijadikan sebagai peluang keberhasilan dakwah.
Zulkifli Mustan, Ilmu Dakwah (Makassar: Pustaka Al-Zikra, 2005)
H. M. Arifin, Psikologi Dakwah, Suatu Pengantar Studi (Cet. 6; Jakarta: PT Bumi
Aksara, 2004)
Syekh Ali Mahfudz, Hidayat
Al-Mursyidin, (Kairo: Dar al Kitab al-‘Arabiy, 1952)
Malik Idris, Strategi Dakwah Kontemporer, (Cet. I; Makassar: Sarwah
Pers, 2007)
Asgo Muhiddin, Dakwah dalam Perspektif Al-Qur’an, (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia,
2002)
H. Asep Muhiddin, Metode
Pengembangan Dakwah (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2002)
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: CV Al-Jumanatul ‘Ali, 2005)
Hamzah Yakub, Publisistik Islam, Teknik Dakwah dan Lidership (Cet. II; Bandung:
CV. Diponegoro, 1981)
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam (Cet. IX; Jakarta: Bulan Bintang,
1995)
Asmuni Syukir, Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam (Surabaya: Al-Ikhlas, 1983)
Gafi Ashari, Pemahaman
dan Pengalaman Dakwah (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993)
Ahmad Anas, Paradigma
Dakwah Kontemporer, Aplikasi dan Praktisi Dakwah sebagai Solusi Problematikan
Kekinian (Cet. I; Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2006)
Onong Uchjana Efendi, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2003)
Muhammad Husain Fatahullah, Metodologi Dakwah dalam Al-Qur’an (Cet. I; Jakarta: Lentera, 1997)
Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah (Cet. I; Jakarta: Kencana, 2004)
H. Asep Muhiddin, Metode
Pengembangan Dakwah (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2002)
Dikutip dari Nurcholish Madjid, Cendekiawan dan Religiusitas Masyarakat, (Jakarta: Paramadina,
1999)
Muhammad Ali Hasyim, Kepribadian
dan Dakwah Rasulullah dalam Kesaksian Al-Qur’an (Cet. I; Yogyakarta,
Mutiara Pustaka, 2004)
Syaik Abdurrahman Abdul Khaliq, Metode dan Stategi Dakwah Islam (Cet. I; Jakarta: Pustaka
Al-Kausar, 1996)
M. Munir, Manajemen
Dakwah (Cet. I; Jakarta: Kencana, 2006)
Sayyid Muhammad Nuh, Stategi
Dakwah dan Pendidikan Umat (Cet. I; Yogyakarta: Himam Prisma Media, 2004)
Prof. Dr. Hamidi,
M.Si 2010. Teori Komunikasi dan Strategi Dakwah. Malang: Umm Press
H. M. Arifin, Psikologi Dakwah, Suatu Pengantar Studi (Cet.
6; Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004), h. 6.
Syekh Ali Mahfudz, Hidayat Al-Mursyidin, (Kairo: Dar al
Kitab al-‘Arabiy, 1952), h. 27.
Malik Idris, Strategi Dakwah
Kontemporer, (Cet. I; Makassar: Sarwah Pers, 2007), h. 7.
Asgo Muhiddin, Dakwah dalam
Perspektif Al-Qur’an, (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2002), h. 7.
H. Asep Muhiddin, Metode Pengembangan Dakwah (Cet. I;
Bandung: Pustaka Setia, 2002), h. 27.
Departemen Agama RI,
Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: CV Al-Jumanatul ‘Ali, 2005), h. 65.
Hamzah Yakub, Publisistik Islam, Teknik Dakwah dan
Lidership (Cet. II; Bandung: CV. Diponegoro, 1981), h. 37-39.
Harun Nasution, Filsafat dan
Mistisme dalam Islam (Cet. IX; Jakarta: Bulan Bintang, 1995), h. 45-46.
Asmuni Syukir, Dasar-Dasar
Strategi Dakwah Islam (Surabaya: Al-Ikhlas, 1983), h. 51.
Gafi Ashari, Pemahaman dan
Pengalaman Dakwah (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993), h. 87.
Muhammad Husain Fatahullah, Metodologi Dakwah dalam Al-Qur’an (Cet.
I; Jakarta: Lentera, 1997), h. 39.
Departemen Agama RI, op. cit., h. 282.
Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah (Cet.
I; Jakarta: Kencana, 2004), h. 157.
Muhammad Husain Fatahullah, op. cit., h. 4-42.
H. Asep Muhiddin, Metode Pengembangan Dakwah (Cet. I;
Bandung: Pustaka Setia, 2002), h. 78. Dikutip dari Nurcholish Madjid, Cendekiawan dan Religiusitas Masyarakat, (Jakarta:
Paramadina, 1999), h. 100.
Muhammad Ali Hasyim, Kepribadian dan Dakwah Rasulullah dalam
Kesaksian Al-Qur’an (Cet. I; Yogyakarta, Mutiara Pustaka, 2004), h. 75.