Rabu, 18 Februari 2015

Cabang-cabang Iman

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat,amma ba’du:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Iman itu ada tujuh puluh atau enam puluh cabang lebih, yang paling utama adalah ucapan ‘Laailaahaillallah’, sedangkan yang paling rendahnya adalah menyingkirkan sesuatu yang mengganggu dari jalan, dan malu itu salah satu cabang keimanan” (HR. Bukhari dan Muslim)

Syarh/penjelasan:

Kata “bidh’” (lebih) di sini adalah bilangan antara tiga sampai Sembilan sebagaimana yang dikuatkan oleh Al Qazzaz.
Kalimat “ada tujuh puluh atau enam puluh cabang lebih,” adalah syak atau keraguan dari perawi dalam riwayat Muslim dari jalan Suhail bin Abi Shalih dari Abdullah bin Dinar. Para pemilik sunan yang tiga meriwayatkan dari jalan yang sama, dimana mereka menyebutkannya dengan tanpa ragu, yaitu tujuh puluh cabang lebih. Namun Imam Baihaqi lebih menguatkan riwayat Imam Bukhari (enam puluh cabang), karena Sulaiman (salah satu rawinya) tidak ragu-ragu. Demikian pula Ibnu Shalah, ia menguatkan jumlah yang paling sedikit, karena itulah yang yakin.
Kata “cabang” maksudnya bagian atau perkara.
Al Qadhiy ‘Iyadh berkata, “Jamaah para ulama membebani diri mengumpulkan cabang-cabang iman tersebut melalui jalan ijtihad. Menghukumi bahwa yang disebutkan itulah maksudnya adalah hal yang sulit. Dan ketidaktahuan mengetahui semua itu secara tafsil (rinci) tidaklah menodai keimanan.”
Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani dalam Fathul Bari menjelaskan, “Bahwa para ulama yang menyebutkan cabang-cabang itu tidaklah sepakat dalam menyebutkannya dalam satu macam, yang paling mendekati kebenaran adalah jalan yang ditempuh Ibnu Hibban, akan tetapi kami tidak mengetahui penjelasan ucapannya, dan saya telah meringkas dari apa yang mereka sebutkan seperti yang akan saya sebutkan, yaitu bahwa cabang-cabang ini terbagi menjadi amal yang terkait dengan hati, amal yang terkait dengan lisan, dan amal yang terkait dengan anggota badan. Amal yang terkait dengan hati itu ada yang berupa keyakinan dan ada yang berupa niat. Ia terbagi dua puluh empat perkara, yaitu:
  1. Beriman kepada Allah, termasuk di dalamnya beriman kepada Dzat-Nya, sifat-Nya, tauhid-Nya, dan bahwa tidak ada yang serupa dengan-Nya, serta meyakini barunya segala sesuatu selain-Nya,
  2. Demikian pula beriman kepada malaikat-Nya,
  3. Beriman kepada kitab-kitab-Nya,
  4. Beriman kepada rasul-rasul-Nya,
  5. Beriman kepada qadar-Nya yang baik maupun yang buruk,
  6. Beriman kepada hari Akhir, termasuk di dalamnya beriman kepada pertanyaan di alam kubur, kebangkitan, penghidupan kembali, hisab, mizan, shirat, surga, dan neraka.
  7. Mencintai Allah,
  8. Cinta dan benci karena-Nya.
  9. Mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, meyakini kemuliaannya. Termasuk di dalamnya bershalawat kepadanya dan mengikuti sunnahnya.
  10. Berniat ikhlas, termasuk di dalamnya meninggalkan riya’, dan kemunafikan.
  11. Bertobat.
  12. Khauf (rasa takut kepada Allah).
  13. Raja’ (berharap kepada Allah)
  14. Bersyukur
  15. Memenuhi janji
  16. Bersabar
  17. Ridha terhadap qadha’ Allah
  18. Bertawakkal (menyerahkan urusan kepada Allah)
  19. Bersikap rahmah (sayang)
  20. Bertawadhu’, termasuk di dalamnya menghormati yang tua dan menyayangi yang muda.
  21. Meninggalkan sombong dan ujub.
  22. Meninggalkan hasad.
  23. Meninggalkan dendam
  24. Meninggalkan marah.
Amal yang terkait dengan lisan itu ada tujuh perkara, yaitu:
  1. Melafazkan tauhid
  2. Membaca Al Qur’an
  3. Mempelajari ilmu
  4. Mengajarkannya
  5. Berdoa
  6. Berdzikr, termasuk di dalamnya beristighfar.
  7. Menjauhi perkataan sia-sia (laghwun).
Amal yang terkait dengan anggota badan itu ada tiga puluh delapan perkara, di antaranya ada yang terkait dengan orang-perorang, ia ada lima belas perkara, yaitu:
  1. Membersihkan, baik secara hissi (inderawi) maupun maknawi. Termasuk di dalamnya menjauhi najis.
  2. Menutup aurat.
  3. Melaksanakan shalat baik fardhu maupun sunat.
  4. Zakat juga demikian.
  5. Memerdekakan budak.
  6. Bersikap dermawan. Termasuk di dalamnya memberikan makan dan memuliakan tamu.
  7. Berpuasa, yang wajib maupun yang sunat.
  8. Berhaji dan berumrah juga demikian.
  9. Berthawaf.
  10. Beri’tikaf.
  11. Mencari malam Lailatul qadr.
  12. Pergi membawa agama. Termasuk di dalamnya berhijrah dari negeri syirk.
  13. Memenuhi nadzar.
  14. Memeriksa keimanan.
  15. Membayar kaffarat.
Yang terkait dengan yang menjadi pengikut, ia ada enam perkara, yaitu:
  1. Menjaga diri dengan menikah.
  2. Mengurus hak-hak orang yang ditanggungnya.
  3. Berbakti kepada kedua orang tua, termasuk pula menjauhi sikap durhaka.
  4. Mendidik anak.
  5. Menyambung tali silaturrahim.
  6. Menaati para pemimpin atau bersikap lembut kepada budak.
Yang terkait dengan masyarakat umum, ia ada tujuh belas cabang, yaitu:
  1. Menegakkan pemerintahan dengan adil.
  2. Mengikuti jamaah.
  3. Menaati waliyyul amri (pemerintah).
  4. Mendamaikan manusia, termasuk di dalamnya memerangi khawarij dan para pemberontak.
  5. Tolong-menolong di atas kebaikan, termasuk di dalamnya beramr ma’ruf dan bernahi munkar.
  6. Menegakkan hudud.
  7. Berjihad, termasuk di dalamnya ribath (menjaga perbatasan).
  8. Menunaikan amanah.
  9. Menunaikan khumus (1/5 ghanimah).
  10. Memberikan pinjaman dan membayarnya, serta memuliakan tetangga.
  11. Bermu’amalah dengan baik.
  12. Mengumpulkan harta dari yang halal.
  13. Menginfakkan harta pada tempatnya, termasuk di dalamnya meninggalkan boros dan berlebihan.
  14. Menjawab salam.
  15. Mendoakan orang yang bersin.
  16. Menghindarkan bahaya atau sesuatu yang mengganggu dari manusia.
  17. Menjauhi perbuatan sia-sia dan menyingkirkan sesuatu yang mengganggu dari jalan.
Sehingga jumlahnya 69 perkara, dan bisa menjadi 79 jika sebagiannya tidak disatukan dengan yang lain, wallahu a’lam. (Lihat Fathul Bari juz 1 hal. 77)

penulis: Ust. Marwan Hadidi, S.Pdi.