Kamis, 13 November 2014

Dakwah sebagai Aktivitas Rekayasa Masyarakat Islam




Sebelum menjabarkan dakwah sebagai aktivitas masyarakat Islam, aku ingin mendefinisikan terlebih dahulu apa itu dakwah dan rekaya dalam kalimat dakwah sebagai aktivitas rekayasa masyarakat Islam karena kata itulah yang nanti akan menjadi pokok pembahasan dalam materi Dakwah sebagai aktifitas rekayasa masyarakat Islam.
Definisi Dakwah
Kata dakwah berasal dari bahasa Arab dengan asal kata (ﺩﻋا-ﻴﺩﻋﻮ) yang dalam bentuk mashdarnya ﺩﻋﻮﺓ  mempunyai arti ajakan, seruan, panggilan, atau undangan.[1] Sedangkan menurut Istilah, dakwah ialah segala usaha dan kegiatan yang sengaja berencana dalam bentuk sikap, ucapan dan perbuatan yang mengandung ajakan dan seruan baik langsung atau tidak langsung, ditujukan kepada orang perorangan, masyarakat atau kelompok masyarakat agar tergugah jiwanya, terketuk hatinya ketika mendengarkan perintah dan peringatan ajaran Islam yang kemudian menghayati, menelaah dan mempelajari untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
H.M. Arifin memberikan definisi bahwa:
“Dakwah adalah sesuatu kegiatan ajakan baik dalam bentuk lisan, tulisan, tingkah laku dan sebagainya yang dilakukan secara sadar dan berencana dalam usaha mampengaruhi orang lain baik secara individu maupun secara kelompok, agar supaya timbul dalam dirinya suatu pengertian, kesadaran, sikap penghayatan serta pengalaman terhadap ajaran agama sebagai massage yang disampaikan kepadanya dengan tanpa adanya unsur-unsur paksaan.[2]

Sedangkan Menurut Syeh Ali Mahfudz dalam Hidayat Al-Mursyidin, sebagaimana yang dikutip oleh Malik Idris bahwa dakwah adalah:
ﺤﺙاﻠﻨﺎﺲﻋﻟﻰاﻟﺧﻴﺮﻮاﻟﻬﺩﻱﻮاﻷﻤﺮﺒﺎﻟﻤﻌﺮﻮﻒﻮاﻟﻨﻬﻲﻋﻦﺍﻠﻤﻨﻜﺮﻠﻴﻔﻮﺰﻮﺍﺑﺳﻌﺎﺪﺓاﻟﻌﺎﺠﻞﻮاﻷﺠﻞ[3][3]
“Mendorong manusia untuk berbuat kebajikan dan petunjuk, meyuruh mereka untuk berbuat kebaikan dan mencegah mereka dari berbuat mungkar agar mendapat kebahagiaan dunia dan kebahagiaan akhirat”.[4]

Imam Al-Gazali dalam bukunya Ma’Allah memberikan definisi bahwa dakwah adalah program pelengkap yang meliputi semua pengetahuan yang dibutuhkan manusia untuk memberi penjelasan tentang tujuan hidup serta mampu membedakan mana yang haq dan mana yang bathil.[5] Sedangkan dakwah menurut pandangan Wahdah Islamiyah adalah mengajak manusia untuk berislam dengan baik dengan pendekatan persuasif, pengenalan dan pengetahuan yang menyeluruh.
Isyarat-isyarat yang dimaksudkan dalam definisi dakwah mengarah pada keseriusan menjalankan tugas suci, dimana kegiatan yang dilakukan harus sistematis, karena segala pekerjaan dalam aktivitas dakwah selalu dilihat dari siapa pelakunya, sehingga aktivitas dakwah itu benar-benar muncul dari sebuah pemahaman.[6] Oleh karenanya, dakwah merupakan kegiatan mengajak manusia kejalan yang telah di gariskan oleh Allah baik secara perorangan maupun secara kolektif, dengan penuh kesadaran yang di rencanakan secara sistematis demi mencapai tujuan hidup manusia yang lebih baik, dunia dan akhirat.
Definisi Rekayasa
Kata rekayasa dalam bahasa inggris berarti engineering yang juga dapat diartikan sebagai teknik adalah penerapan ilmu dan teknologi untuk menyelesaikan permasalahan manusia. Hal ini dapat diselesaikan melalui pengetahuan, matematika dan pengalaman praktis yang diterapkan untuk mendesain objek atau proses yang berguna. Dalam kamus besar bahasa Indonesia sendiri rekayasa adalah penerapan kaidah-kaidah ilmu dalam pelaksanaan (seperti perancangan, pembuatan konstruksi, serta pengoperasian kerangka, peralatan dan sistem yang ekonimis dan efisien).
Dari pengertian tersebut penulis mengartikan dakwah sebagai aktivitas rekayasa masyarakat Islam adalah dakwah sebagai sarana atau aktivitas untuk membentuk karakter umat Islam yang mana materi dakwah tersebut disampaikan oleh da’i kepada mad’u supaya menjadi lebih baik yang sesuai dengan Al-Qur’an & Hadits. Untuk membentuk karakter manusia yang sesuai dengan Al-Qur’an & Hadits tentunya tidaklah semudah membalikan tangan karena sifat & karakter manusia tidaklah sama & dalam menyampaikan dakwah juga tentunya tidak semua umat Islam menerima dengan mudah terkadang juga terjadi penolakan, penolakan dari umat Islam pun berbeda-beda ada yang secara halus dan secara tegas bahwa ia tidak ingin menerima apa yang disampaikan oleh da’i. Untuk itu seorang da’i harus bisa menghadapi permasalahan tersebut & seorang da’i juga harus mengetahui terlebih dahulu subjek, objek & tujuan dakwah serta tantangan & peluang dakwah itu sendiri supaya persiapan da’i bisa lebih matang. Dibawah ini aku akan mencoba menjelaskan apa yang sekiranya dibutuhkan oleh da’i untuk menyampaikan dakwahnya supaya bisa diterima dengan baik oleh umat Islam.
A.    Subjek, Objek dan Tujuan Dakwah
1.      Subjek Dakwah
Subjek dakwah adalah pelaksana dakwah yang beragama Islam, baik laki-laki maupun perempuan bagi mereka yang memiliki kemampuan untuk mengajak dan memberikan materi dakwah kepada orang lain. Kewajiban ini seperti yang telah di gariskan oleh Allah SWT. dalam QS. Ali-Imran (3): 110:
öNçGZä. uöyz >p¨Bé& ôMy_̍÷zé& Ĩ$¨Y=Ï9 tbrâßDù's? Å$rã÷èyJø9$$Î/ cöqyg÷Ys?ur Ç`tã ̍x6ZßJø9$# tbqãZÏB÷sè?ur «!$$Î/ 3 öqs9ur ÆtB#uä ã@÷dr& É=»tGÅ6ø9$# tb%s3s9 #Zöyz Nßg©9 4 ã.cqãYÏB÷sßJø9$#Nßg÷ZÏiB ãNèdçsYò2r&ur tbqà)Å¡»xÿø9$# 
Terjemahnya:
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”.[7][7]

Subjek dakwah seperti yang diisyaratkan dalam surat Ali Imran di atas paling tidak memiliki; sikap simpatik dan berperilaku keteladanan serta memiliki kepribadian yang mengesankan.
Hamzah Yakub dalam bukunya Publistik Islam, Teknik Dakwah dan Lidership; menjelaskan bahwa seorang subjek dakwah paling tidak memiliki:
“(1) Pemahaman Al-Qur’an dan Sunnah Rasul sebagai pedoman dakwah; (2) Memiliki pengetahuan tentang pendidikan ajaran Islam, (Tafsir, Hadits dan Sejarah Kebudayaan Islam); (3) Memiliki pengetahuan yang menjadi alat kelengkapan dakwah (metode, psikologi, antropologi, sosiologi); (4) Memahami bahasa objek dakwah (disamping retorika dan kemampuan menjelaskan materi), (5) Penyantun dan lapangdada; (6) Berani kepada siapapun dalam menyatakan dan mempertahankan kebenaran; (7) Memberi contoh dalam setiap kebajikan sehingga dapat singkron antara perkataan dan perbuatan; (8) Berakhlak mulia (tidak sombong, jujur, tawađđu, rendah hati, murah senyum); (9) Memiliki ketahanan mental yang kuat disamping optimis keberhasilan yang akan tercapai; (10) Berdakwah karena Allah tanpa mengharapkan imbalan dan upah sedikitpun, (11) Mencintai tugas kewajiban dan tidak gampang meninggalkan tugas sebagai penyeruh dakwah.”[8][8]
Oleh karenanya seorang pelaku dakwah (da’i ) yang menjadi simbol moral harus memiliki kompetensi seperti di atas agar memudahkan kemulusan dan efektifitas komunikasi dakwah.
2.      Objek Dakwah
Objek dakwah adalah setiap orang yang dapat dijadikan sasaran pesan dakwah. Dakwah tidak hanya dilakukan pada masyarakat awam, namun kegiatan dakwah disampaikan kepada seluruh manusia dan umat Islam pada khususnya yang diawali dari diri sendiri (‘ibda’ū bi nafsiy) sebagai langkah awal selanjutnya keluarga dan siapa saja yang menjadi sasaran komunikasi dapat dikatakan sebagai objek dakwah dengan kapasitas dan tipologi yang berbeda-beda.
Imam Al-Gazali membagi umat manusia yang menjadi objek dakwah ke dalam 3 golongan: (1) Kaum awam, dengan daya akalnya yang sederhana memiliki cara berfikir yang sederhana sekali, sehingga mereka memiliki cara berfikir yang sederhana pula. Mereka memiliki sifat yang lekas percaya dan penurut, sehingga golongan ini harus dihadapi dengan sikap memberi nasehat dan petunjuk (al-maw ‘izah); (2) Kaum pilihan (Ial-khawwas), yakni kaum yang memiliki daya akal yang kuat dan mendalam. Kemampuan nalar dan keilmuan mereka cukup memadai bahkan sudah mengerti ajaran Islam, sehingga mereka harus didekati dengan sikap menjelaskan hikmah-hikmah, dan (3) Kaum yang suka melawan dan bahkan menjadi musuh dan penengkar (ahl al-jadal), sehingga pendekatan yang digunakan pada golongan ini adalah dengan cara Al-Mujādalah.[9][9]
Secara singkat, yang menjadi objek (sasaran) dakwah adalah seluruh manusia yang memiliki akal sehat serta berada dalam kehidupan bermasyarakat dengan tipologi dan strata yang berbeda-beda, sehingga metode pendekatan di sesuaikan dengan kadar objek dan tujuan dakwah.



3.      Tujuan Dakwah
Kegiatan manusia yang berhasil adalah kegiatan yang mempunyai planning (perencanan) yang matang dan kegiatan yang mempunyai tujuan, dengan cara dan metode tersendiri dalam pencapaiannya.
Dakwah adalah merupakan salah satu bentuk kegiatan manusia, harus direncanakan sebelumya serta menentukan sasaran dan tujuan yang ingin dicapai, sehingga kegiatan yang dilakukan dapat terorganisir dengan baik dan mencapai sasaran. Seluruh rangkaian dan acuan yang telah diorganisir secara baik dalam pelaksanaan dakwah tersebut haruslah dipenuhi demi mendapatkan hasil yang maksimum dan memuaskan. Di antara unsur yang terpenting dalam dakwah adalah menentukan tujuan sasaran dakwah.
Tujuan dakwah terbagi dalam dua bagian yaitu:
a)      Tujuan dakwah secara umum (major objective) yaitu sesuatu yang hendak dicapai dalam suatu aktivitas dakwah. Tujuan umum dakwah sebagaimana yang telah disinggung pada definisi dakwah di atas yaitu:
“Mangajak umat manusia (meliputi orang mukmin maupun orang kafir atau musyrik) kepada jalan yang benar dan di ridhoi Allah SWT., sehingga dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan kehidupan di akhirat.”[10][11]

b)      Tujuan dakwah secara khusus (minor objective) yaitu perumusan tujuan sebagai perincian dari pada tujuan umum dakwah yakni sebagai berikut:
(1)   Mangajak umat manusia yang sudah memeluk Islam untuk selalu meningkatkan ketaqwaannya kepada Allah SWT.,
(2)   Membina mental agama Islam bagi kaum yang masih muallaf dan
(3)   Mendidik dan mengajarkan kepada anak-anak agar tidak menyimpang dari fitrahnya.[11][12]
Dari penjabaran di atas, dapat dipahami bahwa tujuan dakwah adalah mengajak umat manusia baik yang muslim maupun yang non muslim (manusia secara kaffah) kejalan benar yang di ridhoi Allah SWT.  dalam mengarungi kehidupannya, dalam arti menyelamatkan manusia dari kesesatan, kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan sehingga tujuan dakwah diarahkan pada usaha mempertemukan fitrah manusia dengan Islam atau mengingatkan manusia untuk berbuat baik. Oleh karena itu untuk mencapai tujuan dakwah tersebut, pelaku dakwah harus memiliki strategi dan penguasaan dalam menggunakan media.

Ada beberapa metode dakwah yang biasa digunakan oleh para pelaku dakwah:
1.      Metode Dakwah Qur’ani
Dalam kegiatan dakwah, seorang subjek dakwah harus mampu mencari metode yang sesuai untuk digunakan, sehingga tujuan dakwah dapat tercapai.
Metode umum dari dakwah qur’ani adalah memahami dan menguasai tafsir secara etimologi, sehingga dengan metode kajian pelaku dakwah dapat mengetahui keistimewaan dari ayat-ayat Al-Qur’an yang menjadi pedoman dakwah,[12][16] seperti yang digambarkan dalam Q.S. Al-Nahl (16) : 125:
äí÷$# 4n<Î) È@9Î6y y7În/u ÏpyJõ3Ïtø:$$Î/ ÏpsàÏãöqyJø9$#ur ÏpuZ|¡ptø:$# ( Oßgø9Ï0»y_ur ÓÉL©9$$Î/ }Ïd ß`|¡ômr& 4 ¨bÎ) y7­/u uqèd ÞOn=ôãr& `yJÎ/ ¨@|Ê `tã ¾Ï&Î#9Î6y ( uqèdur ÞOn=ôãr& tûïÏ0tGôgßJø9$$Î/
Terjemahnya:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”[13][17]

Pada ayat di atas, terdapat tiga thariq (metode) dakwah yang secara tegas yang diberikan oleh Allah SWT. kepada Nabi Muhammad SAW. dan  pelaku dakwah lainnya, yaitu: bi al-hikmah, maw‘izah al hasanah dan mujādalah.[14][19]
1.      Bi al-hikmah
Dakwah bi al-hikmah  adalah pendapat atau uraian yang benar dan memuat alasan-alasan atau dalil-dalil yang dapat menampakan kebenaran dan menghilangkan keraguan. Konseptualisasi hikmah merupakan perpaduan antara ilmu dan amal yang melahirkan pola kebijakan dalam menyikapi orang lain dengan menghilangkan segala bentuk yang mengganggu.
Pemaknaan kata hikmah menurut M. Husain adalah meletakkan kebenaran suatu perkara sesuai pada tempatnya. Sedang sifat al-hikmah itu hadir dari keterpaduan Al-Kibrah (Pengetahuan), Al-Mirā’ (Latihan) dan At-Tajribāh (Pengalaman). Jika ketiganya bersemayam dalam diri maka akan terbentuk jiwa yang bijaksana.[15][19]
Menurut Ibnu Rusyd, dakwah bil hikmah adalah dakwah dengan pendekatan substansi yang mengarah pada falsafah dengan nasehat yang baik, retorika yang efektif dan populer.[16][20]
Dari pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dakwah dengan hikmah pada intinya merupakan penyeruan atau pengajakan dengan cara bijak, filosofis, argumentatif, adil, penuh kesabaran dan ketabahan. Hal ini dimaksudkan agar pelaku dakwah memperhatikan situasi dengan menggunakan pola relevan dan realistis sesuai tantangan dan kebutuhan.
2.      Maw’izah al-hasanah
Dakwah maw’izah al-hasanah adalah metode dialog-dialog/pidato yang digunakan oleh komunikator, dimana objek dakwah dapat memahami dan menganggap bahwa pesan yang disampaikan adalah sesuatu yang bermanfaat dalam kehidupannya. Konsep maw’izat sering diartikan sebagai tutur-kata yang baik dan nasihat yang baik, sehingga dakwah yang ditempuh dengan menggunakan metode maw’izat al-hasanah orientasinya lebih pada menjawab kebutuhan objek dakwah yang mendesak. Dengan demikian dakwah al-maw’izat al-hasanah jauh dari sikap egois, agitasi emosional dan atau apologi. Cara dakwah ini lebih spesifik ditujukan kepada kelompok mad’u yang kurang mampu menganalisa maksud materi.
3.      Mujādalah
Dakwah mujādalah adalah cara berdiskusi dan berdebat dengan lemah lembut dan halus serta menggunakan berbagai upaya yang mudah, sehingga dapat membendung hal-hal yang negatif dari objek dakwah. Konsep tersebut merupakan kerangka upaya kreatif dan adaptif dari pelaku dakwah dalam menjalankan misi dakwahnya. Antara moral etik keagamaan dan etik sosial-historis yang berjalan ditengah-tengah masyarakat dalam arti bingkai keagamaan tidak dapat begitu saja terlepas dari doktrin tradisi dan kebiasaan masyarakat dalam pola pelaksanaannya.
 Metode inilah yang di isyaratkan oleh Allah dalam QS. Al-Nahl ayat 125, akan tantangan zaman yang kelak dihadapi oleh para pelaku dakwah, dimana bukan hanya dengan orang kafir atau orang yang tidak mau mendengarkan seruan ajaran Islam sebagai bentuk ketidak pahaman dan reaksioner dari mad’u, namun tantangan ini terkadang datang dari sesama pelaku dakwah, sehingga Al-Qur’an mengajak kepada umat manusia terutama pelaku dakwah untuk selalu berdiskusi dengan baik dalam memecahkan masalah.
Adalah hal yang wajar jika manusia menginginkan kemenangan dalam pertunjukan demi mempertahankan kebesaran dan kehormatan, lebih lagi ketika sampai pada kebenaran. Terkadang metode tersebut dalam Al-Qur’an diisyaratkan sebagai perintah berjihad demi agama Allah, karena misi dakwah bukan karena beban namun merupakan kewajiban yang harus terwujudkan.[17][21]
Dalam metode ini ada watak dan suasan yang khas, yakni bersifat terbuka dan transparan, konfrontatif dan reaksionis, namun pelaku dakwah harus tetap berpegang teguh pada karakteristik dakwah itu sendiri. Berdebat dan berdiskusi, bukan ngotot-ngototan mempertahankan kesalahan karena menjaga reputasi dan integritas namun berdebat mencari solusi terbaik.

  1. Metode Dakwah Rasulullah
Ada beberapa fase yang dilalui oleh Rasulullah dalam menjalankan risalahnya. Dilihat dari langkah-langkah dan sudut pandang pengembangan dan pembangunan masyarakat, terdapat tiga posisi penting fungsi/peran Rasulullah SAW.: Pertama beliau sebagai peneliti masyarakat. Posisi dan peran tersebut dilakukan ketika menjadi seorang pedagang sehingga beliau dapat mengetahui karakter masyarakat dari berbagai bangsa-bangsa. Kedua, Rasul sebagai pendidik umat (social educator). Adapun sistem pembinaan dan pendidikan rasul adalah sistem kaderisasi, dimana pendidikan yang dilakukan adalah pembinaan mental sahabat dan keluarganya dengan penanaman aqidah yang benar.  Ketiga, Rasulullah sebagai negarawan dan pembangun masyarakat, hal ini tercermin dengan keberhasilan Rasul membangun Madinah. Pada masa awal perkembangan Islam, masyarakat Islam menampilkan diri sebagai masyarakat alternatif, karakter paling terpenting yang ditampilkan oleh umat Islam saat itu adalah kedamaian dan kasih sayang.
Dari uraian di atas, secara singkat dapat disimpulkan beberapa prinsip dan metode yang dilakukan oleh Rasul: Pertama, Mengetahui medan (mad’u) melalui penelitian dan analisis. Kedua, melalui perencanaan pembinaan, pendidikan, pembangunan dan pengembangan masyarakat. Ketiga bertahap, diawali dengan cara diam-diam (marhalah sirriyah) kemudian cara terbuka (marhalah alaniyah) diawali dari shahabat, keluarga dan teman dekat kemudian masyarakat secara umum. Keempat melalui cara dan strategi hijrah, yakni menghindarkan situasi yang negatif meraih suasana yang positif. Kelima, melalui syariat ajaran dan pranata Islam. Keenam, melakukan kerjasama dengan komponen yang dapat mendukung dan membantu mensukseskan kegiatan dakwah. Ketujuh, melalui cara akomodatif, toleran dan saling menghargai. Kedelapan, menjunjung nilai-nilai kemanusiaan, kebebasan dan demokrasi. Kesembilan, melalui pendekatan misi, maksudnya adalah mengirim personil untuk menyampaikan risalah. Kesepuluh adalah menggunakan bahasa kaumnya, sesuai kemampuan pemikiran masyarakatnya (‘ala qadri uqulihim) dan kesebelas adalah kolaborasi petunjuk Surat Al-Nahl ayat 125 seperti yang dijelaskan di atas.
Tantangan dan Peluang Dakwah
1.      Tantangan Dakwah
Kehidupan manusia di dunia ini tidak luput dari rintangan yang bersifat internal (dari dalam) maupun yang bersifat eksternal (dari luar). Begitulah kondisi aktivitas dakwah yang terjadi di tubuh umat Islam dan para pelaku dakwah dewasa ini.
Tantangan dakwah dewasa ini dapat dilihat dari berbagi perspektif:
a)      Perspektif perilaku (Behavioristic perspective)
Perilaku yang dimaksudkan di sini adalah segenap tingkahlaku manusia yang diperoleh atau bergantung pada data eksperiment yang bermakna. Tampaknya sikap dan perilaku (behavior) masyarakat dewasa ini hampir dapat dipastikan bahwa lebih banyak dipengaruhi oleh keadaan di sekitarnya. Gambaran budaya melalui terpaan media dengan berbagai sajian menarik kepada masyarakat telah membawa imbas yang tidak saja bersifat positif, tetapi dampak negatif merupakan sesuatu yang niscaya.
Berkaitan dengan tantangan dakwah, H. Anwar Arifin menegaskan bahwa dalam masyarakat industri yang mendewakan sains dan teknologi, dakwah menghadapi lawan yang tangguh, kecuali jika ilmu dan teknologi diberikan muatan-muatan agama dengan bobot yang tinggi. Untuk memberikan muatan terhadap sains dan teknologi, keduanya membutuhkan manusia cerdas, sehingga dengan kekuatan penalaran dan iman manusia terutama pelaku dakwah dapat mengarahkan teknologi kearah yang bernilai positif, inilah sesungguhnya kendala yang dihadapi oleh juru dakwah saat ini, yakni dengan kurangnya penguasaan ilmu dan teknologi modern yang ternyata itu adalah penunjang kelancaran interaksi di mana objek dakwah sudah mulai menyeleksi kualifikasi da’i.
b)     Perspektif Transmisi (Transmissional perspective)
Dakwah dapat dikatakan sebagai proses penyampaian atau transmisi ajaran agama Islam dari seorang da’i kepada objek dakwah (mad’u) agar bersikap dan bertingkahlaku sesuai dengan ajaran agama yang diterimanya.
Untuk dapat ditransmisikan (ajaran agama) kepada masyarakat yang menjadi objek dakwah, peranan media sangat menentukan meskipun tetap tidak menafikan faktor-faktor penunjang lainnya. Oleh karena itu seorang da’i dituntut untuk lebih jitu menentukan media yang akan digunakan pada saat melakukan dakwah dengan melewati tahapan-tahapan pelaksanaan dakwah.
Dalam kaitannya dengan transmisi ajaran agama kepada masyarakat dewasa ini, nampaknya pelaku dakwah mendapat tantangan yang tangguh dan kompleks. Tantang tersebut bukan saja pada minimnya pemilikan umat Islam atas media komunikasi yang dapat dijadikan media untuk mentransformasikan ajaran agama, akan tetapi kurangnya kemampuan pada pengelolaan dan pemanfaatan media informatif.
Secara ideal, pelaku dakwah harus mengembangkan kecakapan khas dalam menciptakan dan memanfaatkan teknologi informasi, kendati segala jenis teknologi hadir dengan perangkat ideologi dan kultur dari peradaban yang melahirkannya. 
Dengan berbagai macam perubahan sosial mestinya agama (dakwah) tampil untuk membantu manusia memahamkan kejadian baru yang sering sukar dijangkau oleh akal manusia. Karena ketika kemajuan dramatis iptek tidak lagi sepenuhnya sanggup menjawab masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi yang ditimbulkannya, maka mau tidak mau orang akan mencari pemecahan melalui pendekatan agama.
c)      Perspektif Interaksi (Interactional persepective)
Tantangan dakwah yang berkaitan dengan iteraksi ini memberikan signal bahwa manusia dalam kehidupannya tidak dapat saling memahami jika tidak ada interaksi. Begitulah kondisi dakwah, manakala proses interaksi tidak efektif maka proses dakwah akan gagal. Hubber Bonner dalam bukunya Social psychologi menyebut interaksi sebagai suatu hubungan antara dua orang atau lebih dimana tingkah laku sesorang diubah oleh tingkah laku yang lainnya. Karenanya pengaruh eksternal akan menggerogoti power internal dengan metode tradisionalnya.
d)     Perspektif Transaksional (Transaksional perspective)
Upaya untuk memberikan muatan agama/dakwah terhadap sains dan teknologi, memerlukan manusia dengan kekuatan penalaran dan iman dengan jumlah yang besar. Namun harus diakui bahwa di sinilah letak salah satu kelemahan umat Islam khususnya umat Islam di Indonesia, yaitu rendahnya penguasaan teknologi informatika. Sehingga kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang merupakan tantangan dan motivasi bagi umat Islam khususnya para penyeruh dakwah.

2.      Peluang Dakwah
Peradaban informasi yang mendominasi dunia modern dalam beberapa dekade terakhir ini, telah membawa dampak global dalam berbagai sektor kehidupan manusia. Dampak positif dan negatif peradaban hampir semuanya dapat dikaitkan dengan agama, terutama peluang sekaligus tantang dakwah. Segi positif dari peradaban informasi ini merupakan peluang dakwah, bahkan oleh pihak agamawan tidak terkecuali Islam telah dijadikan sebagai media pendukung dalam mengembangkan ajaran agama.
Islam yang selama ini hanya mampu berjalan dengan ke ikhlasannya untuk menjalankan misi dakwahnya, kini sudah dengan mudah menyampaikan pesan dakwah keseluruh pelosok nusantara dengan kemajuan teknologi. Tanpa disadari, pesan yang disampaikan melalui sinetron, memberi pengaruh besar terhadap kesadaran umat untuk menjalankan ajaran agama, peluang yang demikian haruslah dimanfaatkan oleh pelaku dakwah.
Dengan demikian, tantangan besar yang dihadapi oleh umat Islam adalah penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi moderen. Karena dengan teknologi moderen, banyak hal yang dapat dilakukan untuk membantu tercapainya misi suci (dakwah). Banyak hal yang selama ini tampak samar bagi para ulama, akhirnya menjadi terungkap maksud dan kandungannya berkat iptek.
Oleh karena itu, kesiapan pelaku dakwah dalam berbagai hal seperti yang telah dijelaskan di atas untuk menjawab/mengantisipasi tantangan adalah sebuah keharusan bagi para pelaku dakwah sehingga ketika terjadi kemungkinan-kemungkinan yang tidak diprediksi sebelumnya dapat diatasi, bahkan dijadikan sebagai peluang keberhasilan dakwah.



Zulkifli Mustan, Ilmu Dakwah (Makassar: Pustaka Al-Zikra, 2005)
H. M. Arifin, Psikologi Dakwah, Suatu Pengantar Studi (Cet. 6; Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004)
Syekh Ali Mahfudz, Hidayat Al-Mursyidin, (Kairo: Dar al Kitab al-‘Arabiy, 1952)
Malik Idris, Strategi Dakwah Kontemporer, (Cet. I; Makassar: Sarwah Pers, 2007)
Asgo Muhiddin, Dakwah dalam Perspektif Al-Qur’an, (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2002)
H. Asep Muhiddin, Metode Pengembangan Dakwah (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2002)
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: CV Al-Jumanatul ‘Ali, 2005)
Hamzah Yakub, Publisistik Islam, Teknik Dakwah dan Lidership (Cet. II; Bandung: CV. Diponegoro, 1981)
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam (Cet. IX; Jakarta: Bulan Bintang, 1995)
Asmuni Syukir, Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam (Surabaya: Al-Ikhlas, 1983)
Gafi Ashari, Pemahaman dan Pengalaman Dakwah (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993)
Ahmad Anas, Paradigma Dakwah Kontemporer, Aplikasi dan Praktisi Dakwah sebagai Solusi Problematikan Kekinian (Cet. I; Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2006)
Onong Uchjana Efendi, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003)
Muhammad Husain Fatahullah, Metodologi Dakwah dalam Al-Qur’an (Cet. I; Jakarta: Lentera, 1997)
Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah (Cet. I; Jakarta: Kencana, 2004)
H. Asep Muhiddin, Metode Pengembangan Dakwah (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2002)
Dikutip dari Nurcholish Madjid, Cendekiawan dan Religiusitas Masyarakat, (Jakarta: Paramadina, 1999)
Muhammad Ali Hasyim, Kepribadian dan Dakwah Rasulullah dalam Kesaksian Al-Qur’an (Cet. I; Yogyakarta, Mutiara Pustaka, 2004)
Syaik Abdurrahman Abdul Khaliq, Metode dan Stategi Dakwah Islam (Cet. I; Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 1996)
M. Munir, Manajemen Dakwah (Cet. I; Jakarta: Kencana, 2006)
Sayyid Muhammad Nuh, Stategi Dakwah dan Pendidikan Umat (Cet. I; Yogyakarta: Himam Prisma Media, 2004)
Prof. Dr. Hamidi, M.Si 2010. Teori Komunikasi dan Strategi Dakwah. Malang: Umm Press



[1]Zulkifli Mustan, Ilmu Dakwah (Makassar: Pustaka Al-Zikra, 2005). hal 2.
[2]H. M. Arifin, Psikologi Dakwah, Suatu Pengantar Studi (Cet. 6; Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004), h. 6.
[3]Syekh Ali Mahfudz, Hidayat Al-Mursyidin, (Kairo: Dar al Kitab al-‘Arabiy, 1952), h. 27.
[4]Malik Idris, Strategi Dakwah Kontemporer, (Cet. I; Makassar: Sarwah Pers, 2007), h. 7.
[5][5]Asgo Muhiddin, Dakwah dalam Perspektif Al-Qur’an, (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2002), h. 7.
[6][6]H. Asep Muhiddin, Metode Pengembangan Dakwah (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2002), h. 27.
[7][7]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: CV Al-Jumanatul ‘Ali, 2005), h. 65.

[8][8]Hamzah Yakub, Publisistik Islam, Teknik Dakwah dan Lidership (Cet. II; Bandung: CV. Diponegoro, 1981), h. 37-39.
[9][9]Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam (Cet. IX; Jakarta: Bulan Bintang, 1995), h. 45-46.
[10][11]Asmuni Syukir, Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam (Surabaya: Al-Ikhlas, 1983), h. 51.
[11][12]Gafi Ashari, Pemahaman dan Pengalaman Dakwah (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993), h. 87.
[12][16]Muhammad Husain Fatahullah, Metodologi Dakwah dalam Al-Qur’an (Cet. I; Jakarta: Lentera, 1997), h. 39.
[13][17]Departemen Agama RI, op. cit., h. 282.
[14][18]Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah (Cet. I; Jakarta: Kencana, 2004), h. 157.
[15][19]Muhammad Husain Fatahullah, op. cit., h. 4-42.
[16][20]H. Asep Muhiddin, Metode Pengembangan Dakwah (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2002), h. 78. Dikutip dari Nurcholish Madjid, Cendekiawan dan Religiusitas Masyarakat, (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 100.
[17][21]Muhammad Ali Hasyim, Kepribadian dan Dakwah Rasulullah dalam Kesaksian Al-Qur’an (Cet. I; Yogyakarta, Mutiara Pustaka, 2004), h. 75.