Rabu, 01 Oktober 2014

Latar Belakang Asbab Al Nuzul

Pengertian
  Pengertian Asbab al Nuzul dibagi menjadi 2:
1.Asbab al-nuzul ialah peristiwa-peristiwa yang terjadi menjelang ayat atau ayat-ayat dan ayat tersebut mengomentari peristiwa itu. Definisi ini kita sebut Asbab al-Nuzul Khas.
2.Asbab al-nuzul adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa Nabi, yang ayat-ayat tersebut mengandung hukumnya atau maknanya dari peristiwa-peristiwa tersebut. Definisi ini kita sebut Asbab al­nuzul `Am.

Fungsi Mengetahui Asbab Al-Nuzul
1.Membantu memahami ayat dan menghilangkan kesulitan yang mungkin timbul.
  Seperi kasus Marwan bin Hakam yang mengalami kesulitan dalam memahami firman Allah Surat Ali Imran (3): 188:

لَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَفْرَحُونَ بِمَا أَتَوْا وَيُحِبُّونَ أَنْ يُحْمَدُوا بِمَا لَمْ يَفْعَلُوا فَلَا تَحْسَبَنَّهُمْ بِمَفَازَةٍ مِنَ الْعَذَابِ ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
  Marwan mengatakan, jika orang yang senang dengan apa yang telah diberikannya dan ingin dipuji dengan apa yang tidak dilakukannya, maka kita semua akan disiksa. Dia tetap dalam kesulitannya itu sampai Ibnu Abbas menjelaskan bahwa ayat itu diturunkan berkenaan dengan orang Yahudi.
  Asbab al-nuzulnya: Ketika Nabi SAW menanyakan sesuatu kepada mereka (Yahudi), mereka merahasiakan jawabannya, dan memberi jawaban yang tidak sebenarnya. Setelah mereka memperlihatkan keinginan untuk memperoleh pujian dari beliau atas jawaban yang mereka berikan. Mereka merasa gembira dengan menyembunyikan jawaban yang sebenarnya. Ibnu Abbas kemudian membacakan ayat di atas.
Contoh lainnya, sekiranya tidak ada penjelasan mengenai asbab al-nuzul, mungkin sampai sekarang ini masih saja ada orang yang menghalalkan arak atau minuman keras lainnya yang memabukkan berdasarkan bunyi harfiah surat Al­Maidah (5): 93 :
لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا إِذَا مَا اتَّقَوْا وَآمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ ثُمَّ اتَّقَوْا وَآمَنُوا ثُمَّ اتَّقَوْا وَأَحْسَنُوا ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Diriwayatkan, Usman bin Madzghun dan Amr bin Ma’ad, keduanya mengatakan: Khamr adalah mubah (halal). Mereka menggunakan ayat tersebut di atas sebagai dalil. Mereka tidak mengetahui sebab-sebab turunnya ayat yang melarang minuman keras.
Padahal yang dimaksud oleh ayat tersebut, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Hasan: Setelah ayat yang mengharamkan khamr turun, mereka bertanya: ”Lantas bagaimanakah teman-teman kita yang telah mati dalam keadaan perutnya berisi khamr, sedangkan Allah telah memberi tahu bahwa khamr itu perbuatan keji dan dosa.  “Tak lama kemudian turunlah ayat di atas.”
2.Menghindari kesan adanya pembatasan secara mutlak dalam suatu ayat.
  Sebagai contoh adalah pemahaman surat Al-An’am (6): 145:
  قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
  Menurut lahir ayat ini menunjukkan bahwa makanan yang diharamkan Allah hanyalah bangkai, darah yang mengalir, daging babi dan hewan yang disembelih karena selain Allah.
Tetapi al-Syafi’i berpendapat bahwa ayat itu tidak bermaksud memberi pembatasan yang mutlak seperti itu. Dia berpendapat bahwa ayat itu diturunkan karena orang-orang kafir mengharamkan apa yang dihalalkan Allah dan mereka menghalalkan apa yang di haramkan nya, untuk menunjukkan keinginan mereka kepada Allah dan RasulNya. Kemudian ayat itu diturunkan dengan memberi pembatasan formal sebagai jawaban yang tegas terhadap sikap ingkar mereka itu.
3.Mengetahui hikmah yang terkandung dalam hukum yang disyariatkan oleh agama.
  Surat Al-Mujadalah (58) : 2 Allah S.W.T berfirman:
الَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْكُمْ مِنْ نِسَائِهِمْ مَا هُنَّ أُمَّهَاتِهِمْ ۖ إِنْ أُمَّهَاتُهُمْ إِلَّا اللَّائِي وَلَدْنَهُمْ ۚ وَإِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنْكَرًا مِنَ الْقَوْلِ وَزُورًا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ
4.  Mengetahui secara pasti orang yang menjadi latar belakang turunnya ayat, sehingga tidak merasa sulit dan salah sangka dapat terhindari.
  Contoh paman Nabi SAW (Abi Thalib) dalam surat Al-Qashas (28) : 56:
  إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ ۚ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
5.  Memudahkan menghafal dan memahami wahyu serta memantapkan di dalam dada orang yang mendengar ayat, jika ia mengetahui asbab al-nuzulnya.

Cara Mengetahui
Tidak ada cara lain untuk mengetahuinya kecuali dengan riwayat yang shahih. Al-Wahidy dengan sanadnya sendiri dari Ibn Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda yang artinya “Berhati-hatilah kalian (dalam meriwayatkan) hadits, kecuali yang benar-benar kalian ketahui. Sebab barangsiapa mendustakan atas diriku secara sengaja, maka hendaklah bersia-siap menempati neraka. Dan barangsiapa berdusta atas Al-Qur’an tanpa ilmu, maka (juga) hendaklah bersiap-siap menempati neraka”.

Redaksi
Susunan atau bentuk redaksi dalam pengungkapan riwayat “asbab al-Nuzul”, secara garis besar ada tiga macam, yaitu:
1. Bentuk susunan redaksi yang disepakati oleh ulama menunjukkan kepada “asbab al-Nuzul” (al-muttafaq ‘ala al-i‘tidad bihi). Bentuk ini mengandung tiga unsur utama, yaitu: Pertama, sahabat yang mengemukakan riwayat harus menyebutkan suatu kisah atau peristiwa yang yang menyebabkan turunnya ayat.
Kedua, sahabat yang mengemukakan riwayat harus mengemukakan dengan redaksi yang jelas (bi al- lafzhi al-sharih) menunjukkan kepada pengertian “turunnya ayat”.
Ketiga, sahabat yang mengemukakan riwayat harus mengemukakan riwayatnya dengan pola bahasa yang bersifat pasti, seperti ungkapan:
 “حدث كذاوكذافنزلت آية كذا”, atau “حدث كذاوكذافأنزل الله كذا”.
Bentuk susunan redaksi yang masih diperselisihkan dikalangan ulama untuk menunjukkan kepada “asbab al-Nuzul” (al-mukhtalaf fi al-i‘tidad bihi wa ‘adamihi), karena redaksi pengungkapannya masih bersifat  muhtamilah (mengandung kemungkinan).
Dalam bentuk ini, perawi tidak menginformasikan dengan gamblang adanya suatu kejadian atau peristiwa yang melatar belakangi turunnya ayat, namun hanya mengemukakan suatu riwayat dengan ungkapan:
“إن الآية نزلت في إباحة كذا... أو في منع كذا...” , atau “نزلت هذه الآية في ...” ,        atau “نزلت الآية ...”.
2. Bentuk susunan redaksi yang masih diperselisihkan dikalangan ulama untuk menunjukkan kepada “asbab al-Nuzul” (al-mukhtalaf fi al-i‘tidad bihi wa ‘adamihi), karena redaksi pengungkapannya masih bersifat  muhtamilah (mengandung kemungkinan).
Dalam bentuk ini, perawi tidak menginformasikan dengan gamblang adanya suatu kejadian atau peristiwa yang melatar belakangi turunnya ayat, namun hanya mengemukakan suatu riwayat dengan ungkapan:
“إن الآية نزلت في إباحة كذا... أو في منع كذا...” , atau “نزلت هذه الآية في ...” , atau “نزلت الآية ...”.
Bentuk susunan redaksi yang disepakati oleh ulama tidak menunjukkan kepada “asbab al-Nuzul” (al-muttafaq ‘ala ’adami al-i‘tidad bihi). Bentuk susunan redaksi ini ada dua macam, yaitu:
Pertama, adakalanya si Perawi tidak mengungkapkan riwayat dengan redaksi yang jelas menunjukkan kepada pengertian “turun” (shigat al-Nuzul), namun mengemukakannya dengan redaksi lain, seperti lafaz qira’ah atau tilawah.
Kedua, adakalanya si Perawi mengungkapkan redaksi riwayatnya dengan pola bahasa yang tidak secara pasti menunjukkan kepada sebab turunnya ayat, namun mempergunakan pola bahasa yang mengandung “dugaan” atau “perkiraan” semata.

Sebab Banyak Ayat Satu
Terkadang banyak ayat yang turun, sedang sebabnya hanya satu. Hal seperti itu tidaklah mengapa, karena terkadang pada satu peristiwa turun banyak ayat pada surat-surat yang berbeda. Contohnya adalah apa yang diriwayatkan Said bin Mansur, Abdurrozzak, At-Tirmidzi, Ibnu Jarir, Ibnu Mundzir, Ibnu Abi Hatim, Ath-Thabrani dan al-Hakim dan beliau menshahihkannya dari Ummu Salamah, beliau berkata :
“Wahai Rasulullah, Aku tidak mendengar Allah menyebutkan kaum perempuan sedikitpun mengenai hijrah.
Maka pada suatu hari aku dikejutkan dengan seruan Rasulullah di atas mimbar. Beliau membacakan :
إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu´, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar. (QS. Al-Ahzab (33) : 35)
Maka Allah menurunkan:
فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ أَنِّي لَا أُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِنْكُمْ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ ۖ بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ ۖ
Artinya: Maka Rabb mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman) : Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain.... (QS. Ali Imran Ayat 195)
Juga hadits yang diriwayatkan Ahmad, An-Nasai, Ibnu Jarir, Ibnu Mundzir, Ath-Thabrani dan Ibnu Mardawaih dari Ummu Salamah, katanya : “Aku telah bertanya : Wahai Rasulullah mengapa kami tidak disebutkan dalam Al Qur’an seperti kaum laki-laki?.
Al-Hakim meriwayatkan dari Ummu Salamah juga, beliau berkata : “Kaum laki-laki berperang sedang perempuan tidak, disamping itu kami hanya memperoleh warisan setengah bagian dibanding laki-laki. Maka Allah menurunkan ayat :
وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ ۚ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا ۖ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ ۚ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan…”(QS. An-Nisa (4) : 32)

Ayat Satu Sebab Banyak
Ketika wahyu turun kadang-kadang mempunyai satu atau lebih sebab nuzul. Sebab nuzul itu sendiri kadang-kadang berulang-ulang terjadi disuatu tempat atau suatu waktu, atau berkaitan dengan lebih dari satu orang atau suatu keadaan, yang menyebabkan turunnya wahyu sebagai jawaban terhadap peristiwa yang menjadi sebab nuzul tadi.
Sebab nuzul yang lebih dari satu, kadang-kadang membutuhkan beberapa kali penurunan ayat, meskipun ayat yang turun itu sama.
Sebagai contoh penjelasan tentang turunnya surat al-Ikhlas oleh Imam as-Suyuthi dalam kitabnya Lubaabun Nuquul fii Asbabin Nuzul :
Imam at-Tarmidzi, al-Hakim, dan Ibnu Khuzaimah meriwayatkan dari Abu Aliyah dari Ubay bin Ka’ab bahwa suatu ketika orang-orang musyrik berkata kepada Rasulullah, ”Gambarkanlah kepada kami bagaimana Tuhan engkau ?”Allah lalu ayat ini hingga akhir surah.
Imam ath-Thabrani dan Ibnu Jarir meriwayatkan riwayat senada dengan Jabir bin Abdillah. Dengan riwayat ini, sebagian pihak berdalil bahwa surat ini adalah Makkiyah.
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa suatu ketika kelompok Yahudi datang kepada Nabi saw. Di antara rombongan tersebut terdapat Ka’ab bin Asyraf dan Huyay bin Akhtab. Mereka lalu berkata,”Wahai Muhammad, gambarkanlah kepada kami ciri-ciri Tuhan yang mengutus engkau itu ?!” Allah lalu menurunkan ayat ini hingga akhir surah.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Qatadah, demikian pula Ibnu Mundzir dari Said bin Jabir riwayat yang mirip dengan di atas. Dengan riwayat ini, sebagian pihak berdalil bahwa surah ini adalah madaniyah.
Singkatnya surat tersebut diturunkan dua kali, Yang pertama diturunkan di Makkah sebagai jawaban terhadap kaum musyrikin dan  yang kedua di Madinah sebagai jawaban terhadap ahli kitab.

KESIMPULAN
Asbab al-nuzul harus tetap ada dalam penafsiran al-Qur’an, baik asbab al­nuzul dalam pengertian khas maupun dalam pengertian `am. Pendapat tentang asbab al-nuzul tidak dapat diterima dengan ijtihad atau pemikiran mufassir, tetapi haruslah melalui riwayat yang ketat dan shahih.
Asbab al-nuzul sangat membantu mufassir atau yang berkecimpung dalam al-Qur’an untuk dapat mempermudah dalam berbagai hal yang berhubungan dengan al-Qur’an. Namun tidaklah setiap ayat al-Qur’an ada asbab al-nuzul dalam pengertian khas.
Wallahu A’lam Bishshawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar