Pengertian
Pengertian Asbab al Nuzul dibagi menjadi 2:
1.Asbab
al-nuzul ialah peristiwa-peristiwa yang terjadi menjelang ayat atau
ayat-ayat dan ayat tersebut mengomentari peristiwa itu. Definisi ini
kita sebut Asbab al-Nuzul Khas.
2.Asbab al-nuzul adalah
peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa Nabi, yang ayat-ayat tersebut
mengandung hukumnya atau maknanya dari peristiwa-peristiwa tersebut.
Definisi ini kita sebut Asbab alnuzul `Am.
Fungsi Mengetahui Asbab Al-Nuzul
1.Membantu memahami ayat dan menghilangkan kesulitan yang mungkin timbul.
Seperi kasus Marwan bin Hakam yang mengalami kesulitan dalam memahami firman Allah Surat Ali Imran (3): 188:
لَا
تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَفْرَحُونَ بِمَا أَتَوْا وَيُحِبُّونَ أَنْ
يُحْمَدُوا بِمَا لَمْ يَفْعَلُوا فَلَا تَحْسَبَنَّهُمْ بِمَفَازَةٍ مِنَ
الْعَذَابِ ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Marwan mengatakan, jika orang
yang senang dengan apa yang telah diberikannya dan ingin dipuji dengan
apa yang tidak dilakukannya, maka kita semua akan disiksa. Dia tetap
dalam kesulitannya itu sampai Ibnu Abbas menjelaskan bahwa ayat itu
diturunkan berkenaan dengan orang Yahudi.
Asbab al-nuzulnya: Ketika
Nabi SAW menanyakan sesuatu kepada mereka (Yahudi), mereka merahasiakan
jawabannya, dan memberi jawaban yang tidak sebenarnya. Setelah mereka
memperlihatkan keinginan untuk memperoleh pujian dari beliau atas
jawaban yang mereka berikan. Mereka merasa gembira dengan menyembunyikan
jawaban yang sebenarnya. Ibnu Abbas kemudian membacakan ayat di atas.
Contoh
lainnya, sekiranya tidak ada penjelasan mengenai asbab al-nuzul,
mungkin sampai sekarang ini masih saja ada orang yang menghalalkan arak
atau minuman keras lainnya yang memabukkan berdasarkan bunyi harfiah
surat AlMaidah (5): 93 :
لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا
الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا إِذَا مَا اتَّقَوْا وَآمَنُوا
وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ ثُمَّ اتَّقَوْا وَآمَنُوا ثُمَّ اتَّقَوْا
وَأَحْسَنُوا ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Diriwayatkan, Usman
bin Madzghun dan Amr bin Ma’ad, keduanya mengatakan: Khamr adalah mubah
(halal). Mereka menggunakan ayat tersebut di atas sebagai dalil. Mereka
tidak mengetahui sebab-sebab turunnya ayat yang melarang minuman keras.
Padahal
yang dimaksud oleh ayat tersebut, sebagaimana yang dikatakan oleh
al-Hasan: Setelah ayat yang mengharamkan khamr turun, mereka bertanya:
”Lantas bagaimanakah teman-teman kita yang telah mati dalam keadaan
perutnya berisi khamr, sedangkan Allah telah memberi tahu bahwa khamr
itu perbuatan keji dan dosa. “Tak lama kemudian turunlah ayat di atas.”
2.Menghindari kesan adanya pembatasan secara mutlak dalam suatu ayat.
Sebagai contoh adalah pemahaman surat Al-An’am (6): 145:
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ
يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ
لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ
بِهِ ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ
رَحِيمٌ
Menurut lahir ayat ini menunjukkan bahwa makanan yang
diharamkan Allah hanyalah bangkai, darah yang mengalir, daging babi dan
hewan yang disembelih karena selain Allah.
Tetapi al-Syafi’i
berpendapat bahwa ayat itu tidak bermaksud memberi pembatasan yang
mutlak seperti itu. Dia berpendapat bahwa ayat itu diturunkan karena
orang-orang kafir mengharamkan apa yang dihalalkan Allah dan mereka
menghalalkan apa yang di haramkan nya, untuk menunjukkan keinginan
mereka kepada Allah dan RasulNya. Kemudian ayat itu diturunkan dengan
memberi pembatasan formal sebagai jawaban yang tegas terhadap sikap
ingkar mereka itu.
3.Mengetahui hikmah yang terkandung dalam hukum yang disyariatkan oleh agama.
Surat Al-Mujadalah (58) : 2 Allah S.W.T berfirman:
الَّذِينَ
يُظَاهِرُونَ مِنْكُمْ مِنْ نِسَائِهِمْ مَا هُنَّ أُمَّهَاتِهِمْ ۖ إِنْ
أُمَّهَاتُهُمْ إِلَّا اللَّائِي وَلَدْنَهُمْ ۚ وَإِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ
مُنْكَرًا مِنَ الْقَوْلِ وَزُورًا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ
4.
Mengetahui secara pasti orang yang menjadi latar belakang turunnya
ayat, sehingga tidak merasa sulit dan salah sangka dapat terhindari.
Contoh paman Nabi SAW (Abi Thalib) dalam surat Al-Qashas (28) : 56:
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ ۚ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
5.
Memudahkan menghafal dan memahami wahyu serta memantapkan di dalam dada
orang yang mendengar ayat, jika ia mengetahui asbab al-nuzulnya.
Cara Mengetahui
Tidak
ada cara lain untuk mengetahuinya kecuali dengan riwayat yang shahih.
Al-Wahidy dengan sanadnya sendiri dari Ibn Abbas meriwayatkan bahwa
Rasulullah SAW bersabda yang artinya “Berhati-hatilah kalian (dalam
meriwayatkan) hadits, kecuali yang benar-benar kalian ketahui. Sebab
barangsiapa mendustakan atas diriku secara sengaja, maka hendaklah
bersia-siap menempati neraka. Dan barangsiapa berdusta atas Al-Qur’an
tanpa ilmu, maka (juga) hendaklah bersiap-siap menempati neraka”.
Redaksi
Susunan atau bentuk redaksi dalam pengungkapan riwayat “asbab al-Nuzul”, secara garis besar ada tiga macam, yaitu:
1.
Bentuk susunan redaksi yang disepakati oleh ulama menunjukkan kepada
“asbab al-Nuzul” (al-muttafaq ‘ala al-i‘tidad bihi). Bentuk ini
mengandung tiga unsur utama, yaitu: Pertama, sahabat yang mengemukakan
riwayat harus menyebutkan suatu kisah atau peristiwa yang yang
menyebabkan turunnya ayat.
Kedua, sahabat yang mengemukakan riwayat
harus mengemukakan dengan redaksi yang jelas (bi al- lafzhi al-sharih)
menunjukkan kepada pengertian “turunnya ayat”.
Ketiga, sahabat yang
mengemukakan riwayat harus mengemukakan riwayatnya dengan pola bahasa
yang bersifat pasti, seperti ungkapan:
“حدث كذاوكذافنزلت آية كذا”, atau “حدث كذاوكذافأنزل الله كذا”.
Bentuk
susunan redaksi yang masih diperselisihkan dikalangan ulama untuk
menunjukkan kepada “asbab al-Nuzul” (al-mukhtalaf fi al-i‘tidad bihi wa
‘adamihi), karena redaksi pengungkapannya masih bersifat muhtamilah
(mengandung kemungkinan).
Dalam bentuk ini, perawi tidak
menginformasikan dengan gamblang adanya suatu kejadian atau peristiwa
yang melatar belakangi turunnya ayat, namun hanya mengemukakan suatu
riwayat dengan ungkapan:
“إن الآية نزلت في إباحة كذا... أو في منع كذا...” , atau “نزلت هذه الآية في ...” , atau “نزلت الآية ...”.
2.
Bentuk susunan redaksi yang masih diperselisihkan dikalangan ulama
untuk menunjukkan kepada “asbab al-Nuzul” (al-mukhtalaf fi al-i‘tidad
bihi wa ‘adamihi), karena redaksi pengungkapannya masih bersifat
muhtamilah (mengandung kemungkinan).
Dalam bentuk ini, perawi tidak
menginformasikan dengan gamblang adanya suatu kejadian atau peristiwa
yang melatar belakangi turunnya ayat, namun hanya mengemukakan suatu
riwayat dengan ungkapan:
“إن الآية نزلت في إباحة كذا... أو في منع كذا...” , atau “نزلت هذه الآية في ...” , atau “نزلت الآية ...”.
Bentuk
susunan redaksi yang disepakati oleh ulama tidak menunjukkan kepada
“asbab al-Nuzul” (al-muttafaq ‘ala ’adami al-i‘tidad bihi). Bentuk
susunan redaksi ini ada dua macam, yaitu:
Pertama, adakalanya si
Perawi tidak mengungkapkan riwayat dengan redaksi yang jelas menunjukkan
kepada pengertian “turun” (shigat al-Nuzul), namun mengemukakannya
dengan redaksi lain, seperti lafaz qira’ah atau tilawah.
Kedua,
adakalanya si Perawi mengungkapkan redaksi riwayatnya dengan pola bahasa
yang tidak secara pasti menunjukkan kepada sebab turunnya ayat, namun
mempergunakan pola bahasa yang mengandung “dugaan” atau “perkiraan”
semata.
Sebab Banyak Ayat Satu
Terkadang banyak ayat yang
turun, sedang sebabnya hanya satu. Hal seperti itu tidaklah mengapa,
karena terkadang pada satu peristiwa turun banyak ayat pada surat-surat
yang berbeda. Contohnya adalah apa yang diriwayatkan Said bin Mansur,
Abdurrozzak, At-Tirmidzi, Ibnu Jarir, Ibnu Mundzir, Ibnu Abi Hatim,
Ath-Thabrani dan al-Hakim dan beliau menshahihkannya dari Ummu Salamah,
beliau berkata :
“Wahai Rasulullah, Aku tidak mendengar Allah menyebutkan kaum perempuan sedikitpun mengenai hijrah.
Maka pada suatu hari aku dikejutkan dengan seruan Rasulullah di atas mimbar. Beliau membacakan :
إِنَّ
الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ
وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ
وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ
وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ
كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً
وَأَجْرًا عَظِيمًا
Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim,
laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap
dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan
perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu´, laki-laki
dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa,
laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan
perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan
untuk mereka ampunan dan pahala yang besar. (QS. Al-Ahzab (33) : 35)
Maka Allah menurunkan:
فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ أَنِّي لَا أُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِنْكُمْ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ ۖ بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ ۖ
Artinya:
Maka Rabb mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman) :
Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di
antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu
adalah turunan dari sebagian yang lain.... (QS. Ali Imran Ayat 195)
Juga
hadits yang diriwayatkan Ahmad, An-Nasai, Ibnu Jarir, Ibnu Mundzir,
Ath-Thabrani dan Ibnu Mardawaih dari Ummu Salamah, katanya : “Aku telah
bertanya : Wahai Rasulullah mengapa kami tidak disebutkan dalam Al
Qur’an seperti kaum laki-laki?.
Al-Hakim meriwayatkan dari Ummu
Salamah juga, beliau berkata : “Kaum laki-laki berperang sedang
perempuan tidak, disamping itu kami hanya memperoleh warisan setengah
bagian dibanding laki-laki. Maka Allah menurunkan ayat :
وَلَا
تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ ۚ
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا ۖ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا
اكْتَسَبْنَ ۚ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ
بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa
yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari
sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari
apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari
apa yang mereka usahakan…”(QS. An-Nisa (4) : 32)
Ayat Satu Sebab Banyak
Ketika
wahyu turun kadang-kadang mempunyai satu atau lebih sebab nuzul. Sebab
nuzul itu sendiri kadang-kadang berulang-ulang terjadi disuatu tempat
atau suatu waktu, atau berkaitan dengan lebih dari satu orang atau suatu
keadaan, yang menyebabkan turunnya wahyu sebagai jawaban terhadap
peristiwa yang menjadi sebab nuzul tadi.
Sebab nuzul yang lebih dari satu, kadang-kadang membutuhkan beberapa kali penurunan ayat, meskipun ayat yang turun itu sama.
Sebagai
contoh penjelasan tentang turunnya surat al-Ikhlas oleh Imam as-Suyuthi
dalam kitabnya Lubaabun Nuquul fii Asbabin Nuzul :
Imam at-Tarmidzi,
al-Hakim, dan Ibnu Khuzaimah meriwayatkan dari Abu Aliyah dari Ubay bin
Ka’ab bahwa suatu ketika orang-orang musyrik berkata kepada Rasulullah,
”Gambarkanlah kepada kami bagaimana Tuhan engkau ?”Allah lalu ayat ini
hingga akhir surah.
Imam ath-Thabrani dan Ibnu Jarir meriwayatkan
riwayat senada dengan Jabir bin Abdillah. Dengan riwayat ini, sebagian
pihak berdalil bahwa surat ini adalah Makkiyah.
Ibnu Abi Hatim
meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa suatu ketika kelompok Yahudi datang
kepada Nabi saw. Di antara rombongan tersebut terdapat Ka’ab bin Asyraf
dan Huyay bin Akhtab. Mereka lalu berkata,”Wahai Muhammad, gambarkanlah
kepada kami ciri-ciri Tuhan yang mengutus engkau itu ?!” Allah lalu
menurunkan ayat ini hingga akhir surah.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari
Qatadah, demikian pula Ibnu Mundzir dari Said bin Jabir riwayat yang
mirip dengan di atas. Dengan riwayat ini, sebagian pihak berdalil bahwa
surah ini adalah madaniyah.
Singkatnya surat tersebut diturunkan dua
kali, Yang pertama diturunkan di Makkah sebagai jawaban terhadap kaum
musyrikin dan yang kedua di Madinah sebagai jawaban terhadap ahli
kitab.
KESIMPULAN
Asbab al-nuzul harus tetap ada dalam
penafsiran al-Qur’an, baik asbab alnuzul dalam pengertian khas maupun
dalam pengertian `am. Pendapat tentang asbab al-nuzul tidak dapat
diterima dengan ijtihad atau pemikiran mufassir, tetapi haruslah melalui
riwayat yang ketat dan shahih.
Asbab al-nuzul sangat membantu
mufassir atau yang berkecimpung dalam al-Qur’an untuk dapat mempermudah
dalam berbagai hal yang berhubungan dengan al-Qur’an. Namun tidaklah
setiap ayat al-Qur’an ada asbab al-nuzul dalam pengertian khas.
Wallahu A’lam Bishshawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar